Di suatu keluarga, ada seorang ayah yang terkenal bijak, dan anaknya yang dikenal sebagai orang temperamen, suka marah-marah.
Kemudian, sang ayah karena melihat anaknya yang begitu temperamen, sang ayah berkata,"Anakku, bila engkau hendak marah, tancapkanlah paku di pagar kayu di belakang rumah kita."
Maka, setiap hari, saat sang anak itu hendak marah, ia menancapkan paku di pagar kayu belakang rumahnya.
Hingga setelah beberapa lama, mungkin juga hingga beberapa bulan lamanya, pagar-pagar kayu tersebut penuh akan tancapan paku yang ditancapkan oleh sang anak, sehingga lama-kelamaan sang anak mulai sadar, bahwa lebih mudah untuknya menahan amarah daripada untuk menancapkan paku di pagar kayu tersebut.
Sang ayah pun memperhatikan hal tersebut, lalu ia berkata, "Anakku, bila dalam sehari engkau tidak marah, cabutlah paku-paku yang telah kau tancapkan." "Baiklah ayah." sahut sang anak.
Lalu, beberapa hari, mungkin hingga berbulan-bulan sang anak sudah tidak pernah marah-marah lagi, hingga paku-paku yang tadinya tertancap di pagar kayu tersebut telah dicabut olehnya sebagai tanda ia tidak lagi marah-marah.
Melihat hali itu, sang ayah berkata,
"Kau lihat anakku? Meskipun semua paku telah kau cabut, tapi tetap saja meninggalkan bekas dari paku yang kau tancapkan, dan tidak akan bisa kembali bagus seperti semula. Itu adalah perumpamaan seorang yang marah kepada orang lain, meskipun kau telah meminta maaf kepada orang yang telah kau marahi tanpa alasan yang jelas, tetapi tetaplah di hati orang itu masih ada rasa terluka dan tak bisa lagi kembali seperti semula."
Mendengar itu, sang anak pun tertunduk, tersadar dan meneteslah air matanya, teringat akan orang-orang yang pernah ia marahi tanpa alasan yang jelas.
Lalu, ia pun berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut -memarahi orang tanpa alasan yang jelas-.
Begitulah, pandai-pandailah kita memelihara mulut kita, salah sedikitpun kita bisa melukai hati seseorang yang mungkin akan susah hilang perasaan terluka meski kita telah meminta maaf.
Lisan!
Kemudian, sang ayah karena melihat anaknya yang begitu temperamen, sang ayah berkata,"Anakku, bila engkau hendak marah, tancapkanlah paku di pagar kayu di belakang rumah kita."
Maka, setiap hari, saat sang anak itu hendak marah, ia menancapkan paku di pagar kayu belakang rumahnya.
Hingga setelah beberapa lama, mungkin juga hingga beberapa bulan lamanya, pagar-pagar kayu tersebut penuh akan tancapan paku yang ditancapkan oleh sang anak, sehingga lama-kelamaan sang anak mulai sadar, bahwa lebih mudah untuknya menahan amarah daripada untuk menancapkan paku di pagar kayu tersebut.
Sang ayah pun memperhatikan hal tersebut, lalu ia berkata, "Anakku, bila dalam sehari engkau tidak marah, cabutlah paku-paku yang telah kau tancapkan." "Baiklah ayah." sahut sang anak.
Lalu, beberapa hari, mungkin hingga berbulan-bulan sang anak sudah tidak pernah marah-marah lagi, hingga paku-paku yang tadinya tertancap di pagar kayu tersebut telah dicabut olehnya sebagai tanda ia tidak lagi marah-marah.
Melihat hali itu, sang ayah berkata,
"Kau lihat anakku? Meskipun semua paku telah kau cabut, tapi tetap saja meninggalkan bekas dari paku yang kau tancapkan, dan tidak akan bisa kembali bagus seperti semula. Itu adalah perumpamaan seorang yang marah kepada orang lain, meskipun kau telah meminta maaf kepada orang yang telah kau marahi tanpa alasan yang jelas, tetapi tetaplah di hati orang itu masih ada rasa terluka dan tak bisa lagi kembali seperti semula."
Mendengar itu, sang anak pun tertunduk, tersadar dan meneteslah air matanya, teringat akan orang-orang yang pernah ia marahi tanpa alasan yang jelas.
Lalu, ia pun berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut -memarahi orang tanpa alasan yang jelas-.
Begitulah, pandai-pandailah kita memelihara mulut kita, salah sedikitpun kita bisa melukai hati seseorang yang mungkin akan susah hilang perasaan terluka meski kita telah meminta maaf.
Lisan!
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas