Hari ini aku bertanya tentang aku. Siapapun aku. Meski kadang untuk bertanya tentang aku, aku sendiri sering lupa. Padahal bertanya tentang diri sendiri adalah bertanya tentang sesuatu yang paling substansial sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Bila aku bertanya pada diriku hari ini, tentang apa yang telah aku lakukan, apa yang akan kulakukan, maka aku akan mengerti betapa tidak sederhana urusan seorang diriku. Tidak sederhana, bukan berarti segalanya menjadi penuh kekacauan, pesimisme, dan ketidakjelasan. Tidak selalu seperti itu maksudnya. Sebab bahagia sekalipun, atau sukses, prestasi, banyak yang lahir dari jalan hidup yang kompleks. Maka ada tangis duka, ada juga tangis bahagia. Urusan diriku ini tidak sederhana ternyata.
Bila hari ini aku bertanya tentang apa yang telah aku lakukan, aku akan mendapati ternyata keburukanku lebih banyak dari kebaikanku. Untuk mengakui itu sendiri tidaklah mudah. Ada hal-hal yang tersembunyi, yang hanya aku dan Allah yang tahu. Semoga Allah menutupi aib-aibku, di dunia dan akhirat.
Bila aku bertanya tentang apa yang belum aku lakukan, aku akan mendapati ternyata masih banyak yang belum aku perbuat. Bila aku bertanya tentang apa yang ingin aku lakukan, itu nyaris sebanding dengan gabungan antara harapan dan hayalan. Kadang batas antara keduanya sangat tipis. Kadang aku merasa seperti berharap, tapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa ternyata waktu itu aku sedang menghayal. Namun, perlahaan aku mengerti, tanda tanya ketidakpastian itu, ternyata memberi seorang mukmin ruang kebergantungan yang sangat tinggi kepada Allah. Dan Disitu ternyata ada ketenangan yang luar biasa.
Perjalanan hidup ini amatlah panjang. Bahkan sangat panjang. Ia membutuhkan jeda sesaat untuk memastikan, apakah ada yang harus diperbaiki, diluruskan, atau diubah total, agar seorang manusia tidak tertipu dan tersesat jalan, sehingga akan terhambat keselamatannya untuk sampai tujuan, nun jauh di ujung sana.
Jeda waktu itu tidak lain adalah perenungan diri, alias instropeksi diri. Ini sangat penting. Karena itu, Rasululllah saw mengingatkan, ”Orang yang cerdas itu adalah orang yang menghitung dirinya dan berbuat untuk sesuatu yang ada setelah mati.” (HR. Tirmidzi)
Wahai diriku, rasanya sudah lama aku tidak menyapa dirimu, menyetop langkahmu untuk sekedar bertanya dan mengingatkan batas-batas perjalanan hidupmu, sampai akhirnya aku membacakan kembali hadist Nabi di atas.
Bukannya aku malu tidak disebut cerdas oleh Nabi, tapi karena ini memang penting dan perlu untuk kulakukan untukmu. Maka di sini, saat ini, aku ingin bertanya kepadamu tentang banyak hal, karena perasaanku yang mulai terusik dengan hal-hal yang tidak patut untuk aku lakukan untuk sekarang ini dan seterusnya.
Tentang hubungan dengan Allah
Aku sadar, bahwa tidak ada yang paling penting dalam hidup ini kecuali menjaga hubungan baik dengan Allah swt, dalam keadaan apapun. Sebab, Dialah yang telah menciptakan aku dan juga semua manusia. Kepada-Nyalah aku akan kembali. Dia hanya bagi-Nyalah aku mengabdi; beramal dan beribadah. Tidak untuk lain.
Aku pun tahu kalau engkau (hati), wahai diriku, juga meyadari itu. Karena itu, dulu engkau begitu dekat dengan-Nya. Paling tidak, jika aku bandingkan dengan keadaanmu sekarang. Waktu itu, apa yang kau pinta rasanya selalu terkabul. Tidak ada kesulitan berarti dalam hidupmu. Engkau minta kepada-Nya agar dimudahkan dalam segala ujian, kau pun dimudahkan-Nya dalam ujian. engkau berdoa dalam meminta sesuatu, pertolongannya pun begitu cepat datang. engkau mengeluhkan penyakitmu kepada-Nya, tak lama kemudian kau pun kembali sehat. Pendeknya, apa yang kau pinta selalu ada jawabannya.
Tetapi kini, ketika kau merasa sedang terdesak dan benar-benar membutuhkan pertolongan-Nya, kau terlihat malu mengahadap-Nya. Enggan meminta kepada-Nya. Kau bahkan tampak tidak yakin permintaanmu akan terkabul. Bukan lantaran engkau berburuk sangka kepada-Nya. Sama sekali bukan. Sebab aku tahu dan kau pun meyakini itu, bahwa Allah senantiasa mendengat doa hamba-Nya, siapapun dia. Lagi pula, engakau sangat hafal firman-Nya yang diriwayatkan kekasih-Nya, Muhammad saw,
”Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” Artinya, kalau kamu yakni Allah mengabulkan do’a-do’amu, maka seperti itulah yang Dia berikan.
Aku ingin menjelaskannya kepadamu, meskipun sesungguhnya kamu sudah tahu jawabannya. Rasa malu itu hadir, tidak lain karena kau mencoba tahu diri bahwa keadaanmu saat ini berbeda dengan yang dulu. Dulu engkau rajin beribadah, sekarang sering melupakan-Nya. Kau seakan tidak ingin Allah mengabulkan permintaanmu, namu kau jauh darinya.
Wahai diriku, engkau memang tidak sampai meninggalkan shalat. Namun shalat yang kau kerjakan seperti tidak memberi efek dan makna bagimu. Itu karena engkau melakukannya tanpa kekhusukan. Terlalu banyak problem yang menggelayut dipikiranmu. Ada tugas yang belum kau kerjakan. Ada masalah di keluargamu. Ada problem dengan teman-temanmu. Ada masalah di kampusmu. Ada masalah dikantormu. Ada ini dan ada itu. Belum lagi, engkau sekarang memang jarang ke masjid. Terkadang ketika adzan Shubuh berkumandang, engkau justru semakin merapatkan selimutmu. Padahal masjid hanya beberapa langkah dari rumahmu. Engkau bahkan sekarang malah terbiasa dengan menunda-nunda shalat, yang dulu sangat takut kau lakukan.
Engkau bukannya tidak tahu, kalau semakin rajin dan khusyuk shalatmu maka problem-problem hidupmu akan selesai dengan sendirinya. Tetapi kenapa problem-problem itu justru mengalahkan kualitas dan kuantitas ibadahmu. Sering, dalam shalat berjamaah terkadang aku menertawaimu. Sebabnya, shalat yang kau kerjakan, rakaat demi rakaatnya berlalu tanpa terasa. Bahkan, kadang kala imam mengucapkan salam tanda shalat telah berakhir, kau tiba-tiba terhenyak; kembali dari petualangan pikiranmu dan melihat kenyataan bahwa kau pun telah selesai melakukan shalat.
Puasa di bulan Ramadhan ini pun memang tetap kau jalankan. Tapi sayang, kadang yang kau puasakan hanya perutmu saja. Sementara mata, telinga, lisan, dan hatimu tak mampu menahan godaan. Shalat tarawih (Qiyamul Lail) yang biasa tidak pernah kau tinggalkan, rasanya tidak sampai sepertiganya yang kau jalankan. Begitu juga dengan tilawah, kau bahkan tidak bisa mengkhatamkan bacaan, meski hanya sekali saja...astaghfirllahal adzim..
Ibadah-ibadahmu yang lain banyak yang tidak maksimal. Kau mengerjakannya hanya karena ingin melepaskan kewajiban. Maka wajar jika amal ibadahmu tidak mendekatkanmu kepada Allah.
Ketika Allah mengujimu dengan suatu musibah, engkau tidak bisa bersabar. Di saat engkau berusaha dan berikhtiar, selalu tidak disertai dengan sikap tawakal yang sempurna. Jika kau berdiri menghadapnya, tak ada adab kesopanan yang kau sertakan. Kau memang terlihat jauh dari Allah swt, dari sisi apa saja.
Aku memang sudah lama tak memperdulikan keadaan dirimu. Karena itu tidak heran kalau dirimu tidak seperti dulu lagi, Hari ini aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau menjadi diri yang puas dengan prestasi amalmu yang tak pernah meningkat ini ? Mudah-mudahan jawabannmu ”tidak”. Sebab aku sangat berharap kau bisa berubah menjadi lebih baik. Minimal seperti dulu, dimana engkau merasakan dekatnya pertolongan Allah atas dirimu.
Tentang Hubunganmu dengan Al Qur’an
Akhir-akhir ini, aku juga melihatmu sangat jauh dari Al Quran. Padahal Al Quran itu adalah sarana berkomunikasi dengan Allah yang paling mudah dan efektif. Tidak perlu modal dan tenaga. Dulu, kemana-mana di saku bajumu atau di tasmu selalu terselip mushaf ukuran kecil. Itu memang karena engaku memang rajin membacanya. Atau kalau pun engkau tidak sempat membacanya, minimal kau jadikan ia sebagai pengingatmu ketika terlupa dan hampir terjebak perbuatan dosa.
Kini, engkau telah terbiasa pergi tanpa mushaf di sisimu. Sebab posisinya di hatimu telah diganti oleh telepon selulermu. Jika kakimu melangkah ke luar rumah tanpa membawa mushaf, tak ada lagi kata penyesalan. Namun jika telepon selulermu yang tertinggal, kau pun panik tak terkira. Engkau kini benar-benar mementingkan berkomunikasi dengan manusia, daripada kebutuhan berkomunikasi dengan Rabb-mu sendiri.
Biasanya, di bulan Ramadhan engkau mampu menamatkan tilawah Qur’anmu lebih dari sekali. Namun di Ramadhan yang lalu, jangankan sekali, setagah kali pun tidak...apa lagi Ramadhan ini, jangankan optimis niat saja sepertinya engkau masih ragu-ragu.. Aku bingung, apakah engkau yang bosan dengan Al Quran atau Al Qur’an yang justru bosan denganmu. Kalau engkau yang bosan, mudah-mudahan dalam waktu dekat engkau akan segera mengakrabinya kembali. Tetapi kalau Al Qur’an yang bosan, aku tidak tahu, kemana lagi engku mencari pedoman hidup. Sekarang saja engkau sudah sedemikian sesat, apalagi jika Al Qur’an menjauhi dirimu. Celaka engkau wahai diriku !
Aku ingat, dan barangkali semua temanmu pun tahu. Kalau tidak percaya, coba kau tanyakan pada mereka. Dulu, ketika kau duduk, dan mendengarkan MP3 yang sering terdengar adalah tilawah Al Qur’an; dari beragam qira’. Kalau pun tidak, penggantinya tidak jauh dari nasyid-nasyid pembakar semangat dan peneduh hati. Tetapi kini, jangankan Al Qur’an, nasyid pun sudah terhapus satu persatu, berganti dengan suara-suara syetan dari berbagai aliran yang sesungguhnya engkau sendiri tahu sangat paham tidak akan memberi apa-apa padamu, kecuali membuat hatimu kian kerasdan kotor.
Ketika kau pun harus tampil membaca Al Qur’an, itu pun karena kau ingin dikatakan sebagai orang yang terpelajar. Atau sebagai qari’ yang pandai. Atau karena ingin dikedepankan dalam majelis, diminta untuk mengajar, dan dimintai fatwa tentang ini dan itu karena kau adalah aktifis masjid kampus atau pengurus masjid yang sangat dihormati mereka..
Sekiranya perasaan itu benar adanya, maka bersiaplah untuk dijauhkan dari surga, wahai diriku. Sebab Rasulullah pernah menegaskan, ”Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari ridha Allah, namun dia tidak mencarinya selain untuk memperoleh setumpuk harta dunia, dia tidak akan mendapatkan wanginya surga pada Hari Kiamat.” (HR. Bukhairi)
Wahai diriku, camkan pula hadist Rasulullah saw tentang orang-orang yang pertama kali akan diputuskan hukumannya pada hari kiamat. Salah seorang diantara mereka adalah orang yang belajar agama dan Al Qur’an.
Hari ini, aku ingin mendengar darimu jawaban yang jujur, apakah engkau melakukan itu karena menginginkan dunia atau karena ingin mencari ridha Allah, seperti yang biasa kau ucapkan ? Rasanya, engku masih perlu lebih banyak belajar tentang ilmu ikhlas.
Tentang Hubunganmu dengan sesama manusia.
Wahai diriku, Rasulullah tercinta pernah bersabda kepada istrinya, Aisyah ra, ”Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang kedudukannya paling buruk di sisi Allah di Hari Kiamat adalah orang yang ditinggalkan orang lain karena takut pada kejahatannya.” (HR. Bukhari)
Pertanyaanku, bagaimana dengan dirimu sendiri ? Seperti apa muamalahmu selama ini dengan orang lain. Bagaimana sikapmu dengan para tetangga ? Adakah engkau sudah menjenguk mereka ketika mereka sedang sakit ? Sudahkah engkau membantu temanmu yang kesusahan ? Seperti apa pula baktimu pada orangtua ? Mereka semua adalah orang-orang yang ada disekilingmu, yang wajib engkau pergauli dengan baik.
Diriku, yakinilah engkau jarang memperhatikan temanmu yang sedang kesusahan. Ketika seorang di antara mereka hendak meminjam uang darimu karena kebutuhan yang sangat mendesak, kau katakan kepadanya sedang tidak punya uang. Padahal aku tahu, waktu itu engkau masih punya simpanan uang. Engkau sulit sekali membantu orang lain.
Suatu hari, ketika seorang peminta sumbangan mengucap salam di depan pagar rumahmu, aku melihatmu berpura-pura tidak mendengarnya. Horden yang sedikit terbuka, pun segera kau tutup pelan-pelan agar orang itu bisa segera berlalu. Tidak hanya sampai di situ kelakuanmu, aku bahkan merasakan hatimu berbisik, ”Ah, paling untuk dirinya sendiri.”
Seburuk itukah engkau sekarang, wahai diriku ? Bukankah engaku hapal banyak dalil tentang keutamaan bersedekah. Jika engkau memang tidak ingin bersedekah, maka berkatalah jujur. Jangan pula menambah keburukanmu dengan prasangka yang tidak baik.
Kepada orangtuamu, engkau pun tidak memperlihatkan bakti, Kau jarang bersama mereka. Hari-harimu disibukkan dengan bekerja, ataupun kuliah atau bahkan hari-harimu hanya disibukkan dengan berkumpul dengan teman-temanmu yang tak mengenal waktu.
Kau jarang mempedulikan mereka, apalagi meringankan kesulitannya. Bahkan untuk sekedar menanyakan keadaan mereka lewat telepon engkau tak sempat. Engkau banyak meminta perhatiannya untumu, tetapi sebaliknya, kau sering melupakannya. Yang kutahu dari kebaikanmu yang tersisa, adalah doamu kepada Allah untuk mereka. Hanya itu. Padahal engkau tahu, bahwa bakti kepada orangtua akan mengundang keberkahan, serta menyibak kesulitan.
Wahai diriku, engkau seolah mampu mengatasi masalahmu sendiri, karena itu kau merasa tidak butuh dengan orang lain. Engkau abaikan mereka dalam hidupmu. Engkau hanya bergaul dengan orang, yang kamu yakin akan menguntungkan dirimu dari sisi materi. Tinggalkan sifat ini, karena hanya akan merugikan suatu hari nanti. Perbaikilah hubunganmu dengan sesama manusia. Berkasih sayangalah dengan mereka, agar Allah dan para malaikatnya yang ada di atas langit disana, pun mengasihi dirimu.
Tentang Kondisi Hatimu
Bagaimana pula dengan kondisi hatimu kini ? Ini pertanyaanku selanjutnya. Aku menanyakan ini karena kita sama-sama paham, bahwa hatilah yang paling menentukan kebaikan dan keburukan seseorang.
Hati itu, wahati diriku, sangat mudah di hinggapi penyakit, yang disebut dengan maksiat-maksiat hati. Penyakit ini takkan tampak oleh mata dan tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah swt, wahai diriku.
Saat ini, aku mulai mengkhawatirkan hatimu. Aku takut ia telah terserang penyakit-penyakit itu. Sebab tanda-tandanya sudah banyak kurasakan, dan aku yakin engkau pun merasakan itu. Karena itu aku ingin mengungkapkan beberapa fakta agar aku bisa tahu sejauh mana kebenaran dugaanku ini.
Sekarang aku melihatmu sering iri dan dengki kepada saudara atau sahabatmu karena kelebihan yang mereka peroleh. Karena nilai ujian mereka yang lebih tinggi dari dirimu, karena harta mereka yang lebih, karena jabatan yang mereka raih, dsb. Lupakah engkau bahwa itu semua hanyalah kesenangan dunia yang bersifat sementara dan akan segera lenyap ? Mengapa dengan keshalihan orang lain justru engkau tidak pernah berkaca ? Aku tidak pernah melihatmu iri dengan orang yang banyak menghapal Al Quran, atau dengan orang yang rajin shalat malam, atau dengan orang yang tekun berpuasa sunnah. Tidak pernah, wahai diriku !!!
Masih banyak kejanggalan lain yang kurasakan di hatimu. Ada rasa bangga yang berlebihan, ada kesombongan, dan riya; penyakit yang paling berbahaya itu juga ada. Terlalu panjang jika aku beberkan semua. Kita memohon kepada Allah agar hati kita dijernihkan kembali, dari segala noda dan maksiat. ”Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati. Tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu dan ketaatan kepada-Mu.”
Wahai diriku, kiranya sampai disini pertanyaan-pertanyaanku. Ini semua tidak aku maksudkan untuk menyudutkanmu, melainkan karena aku begitu mencintaimu. Sebab keselamatanmu adalah keselamatanku. Keselamatan kita. Aku tahu, ada banyak petikan yang menusuk hatimu, bahkan mungkin membuatmu menetaskan air mata. Namun, apa guna itu semua, kalau tidak ada perubahan yang kau tunjukkan padaku. Satu rakaat shalat witir yang kau biasakan dalam setiap malam yang kau lewati, lebih mulia di sisi Allah daripada kerjakerasmu menghimpun dunia dan segala isinya. Satu lembar Al Quran yang kau baca setiap hari, lebih Allah cintai daripada beribu-ribu lembar rupiah yang kau tumpuk di bank. Sepotong roti yang kau sedekahkan lebih Allah senangi dari segunung emas yang kau kumpulkan.
Semoga Allah menyelematkan kita, wahai diriku..
Bila aku bertanya pada diriku hari ini, tentang apa yang telah aku lakukan, apa yang akan kulakukan, maka aku akan mengerti betapa tidak sederhana urusan seorang diriku. Tidak sederhana, bukan berarti segalanya menjadi penuh kekacauan, pesimisme, dan ketidakjelasan. Tidak selalu seperti itu maksudnya. Sebab bahagia sekalipun, atau sukses, prestasi, banyak yang lahir dari jalan hidup yang kompleks. Maka ada tangis duka, ada juga tangis bahagia. Urusan diriku ini tidak sederhana ternyata.
Bila hari ini aku bertanya tentang apa yang telah aku lakukan, aku akan mendapati ternyata keburukanku lebih banyak dari kebaikanku. Untuk mengakui itu sendiri tidaklah mudah. Ada hal-hal yang tersembunyi, yang hanya aku dan Allah yang tahu. Semoga Allah menutupi aib-aibku, di dunia dan akhirat.
Bila aku bertanya tentang apa yang belum aku lakukan, aku akan mendapati ternyata masih banyak yang belum aku perbuat. Bila aku bertanya tentang apa yang ingin aku lakukan, itu nyaris sebanding dengan gabungan antara harapan dan hayalan. Kadang batas antara keduanya sangat tipis. Kadang aku merasa seperti berharap, tapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa ternyata waktu itu aku sedang menghayal. Namun, perlahaan aku mengerti, tanda tanya ketidakpastian itu, ternyata memberi seorang mukmin ruang kebergantungan yang sangat tinggi kepada Allah. Dan Disitu ternyata ada ketenangan yang luar biasa.
Perjalanan hidup ini amatlah panjang. Bahkan sangat panjang. Ia membutuhkan jeda sesaat untuk memastikan, apakah ada yang harus diperbaiki, diluruskan, atau diubah total, agar seorang manusia tidak tertipu dan tersesat jalan, sehingga akan terhambat keselamatannya untuk sampai tujuan, nun jauh di ujung sana.
Jeda waktu itu tidak lain adalah perenungan diri, alias instropeksi diri. Ini sangat penting. Karena itu, Rasululllah saw mengingatkan, ”Orang yang cerdas itu adalah orang yang menghitung dirinya dan berbuat untuk sesuatu yang ada setelah mati.” (HR. Tirmidzi)
Wahai diriku, rasanya sudah lama aku tidak menyapa dirimu, menyetop langkahmu untuk sekedar bertanya dan mengingatkan batas-batas perjalanan hidupmu, sampai akhirnya aku membacakan kembali hadist Nabi di atas.
Bukannya aku malu tidak disebut cerdas oleh Nabi, tapi karena ini memang penting dan perlu untuk kulakukan untukmu. Maka di sini, saat ini, aku ingin bertanya kepadamu tentang banyak hal, karena perasaanku yang mulai terusik dengan hal-hal yang tidak patut untuk aku lakukan untuk sekarang ini dan seterusnya.
Tentang hubungan dengan Allah
Aku sadar, bahwa tidak ada yang paling penting dalam hidup ini kecuali menjaga hubungan baik dengan Allah swt, dalam keadaan apapun. Sebab, Dialah yang telah menciptakan aku dan juga semua manusia. Kepada-Nyalah aku akan kembali. Dia hanya bagi-Nyalah aku mengabdi; beramal dan beribadah. Tidak untuk lain.
Aku pun tahu kalau engkau (hati), wahai diriku, juga meyadari itu. Karena itu, dulu engkau begitu dekat dengan-Nya. Paling tidak, jika aku bandingkan dengan keadaanmu sekarang. Waktu itu, apa yang kau pinta rasanya selalu terkabul. Tidak ada kesulitan berarti dalam hidupmu. Engkau minta kepada-Nya agar dimudahkan dalam segala ujian, kau pun dimudahkan-Nya dalam ujian. engkau berdoa dalam meminta sesuatu, pertolongannya pun begitu cepat datang. engkau mengeluhkan penyakitmu kepada-Nya, tak lama kemudian kau pun kembali sehat. Pendeknya, apa yang kau pinta selalu ada jawabannya.
Tetapi kini, ketika kau merasa sedang terdesak dan benar-benar membutuhkan pertolongan-Nya, kau terlihat malu mengahadap-Nya. Enggan meminta kepada-Nya. Kau bahkan tampak tidak yakin permintaanmu akan terkabul. Bukan lantaran engkau berburuk sangka kepada-Nya. Sama sekali bukan. Sebab aku tahu dan kau pun meyakini itu, bahwa Allah senantiasa mendengat doa hamba-Nya, siapapun dia. Lagi pula, engakau sangat hafal firman-Nya yang diriwayatkan kekasih-Nya, Muhammad saw,
”Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” Artinya, kalau kamu yakni Allah mengabulkan do’a-do’amu, maka seperti itulah yang Dia berikan.
Aku ingin menjelaskannya kepadamu, meskipun sesungguhnya kamu sudah tahu jawabannya. Rasa malu itu hadir, tidak lain karena kau mencoba tahu diri bahwa keadaanmu saat ini berbeda dengan yang dulu. Dulu engkau rajin beribadah, sekarang sering melupakan-Nya. Kau seakan tidak ingin Allah mengabulkan permintaanmu, namu kau jauh darinya.
Wahai diriku, engkau memang tidak sampai meninggalkan shalat. Namun shalat yang kau kerjakan seperti tidak memberi efek dan makna bagimu. Itu karena engkau melakukannya tanpa kekhusukan. Terlalu banyak problem yang menggelayut dipikiranmu. Ada tugas yang belum kau kerjakan. Ada masalah di keluargamu. Ada problem dengan teman-temanmu. Ada masalah di kampusmu. Ada masalah dikantormu. Ada ini dan ada itu. Belum lagi, engkau sekarang memang jarang ke masjid. Terkadang ketika adzan Shubuh berkumandang, engkau justru semakin merapatkan selimutmu. Padahal masjid hanya beberapa langkah dari rumahmu. Engkau bahkan sekarang malah terbiasa dengan menunda-nunda shalat, yang dulu sangat takut kau lakukan.
Engkau bukannya tidak tahu, kalau semakin rajin dan khusyuk shalatmu maka problem-problem hidupmu akan selesai dengan sendirinya. Tetapi kenapa problem-problem itu justru mengalahkan kualitas dan kuantitas ibadahmu. Sering, dalam shalat berjamaah terkadang aku menertawaimu. Sebabnya, shalat yang kau kerjakan, rakaat demi rakaatnya berlalu tanpa terasa. Bahkan, kadang kala imam mengucapkan salam tanda shalat telah berakhir, kau tiba-tiba terhenyak; kembali dari petualangan pikiranmu dan melihat kenyataan bahwa kau pun telah selesai melakukan shalat.
Puasa di bulan Ramadhan ini pun memang tetap kau jalankan. Tapi sayang, kadang yang kau puasakan hanya perutmu saja. Sementara mata, telinga, lisan, dan hatimu tak mampu menahan godaan. Shalat tarawih (Qiyamul Lail) yang biasa tidak pernah kau tinggalkan, rasanya tidak sampai sepertiganya yang kau jalankan. Begitu juga dengan tilawah, kau bahkan tidak bisa mengkhatamkan bacaan, meski hanya sekali saja...astaghfirllahal adzim..
Ibadah-ibadahmu yang lain banyak yang tidak maksimal. Kau mengerjakannya hanya karena ingin melepaskan kewajiban. Maka wajar jika amal ibadahmu tidak mendekatkanmu kepada Allah.
Ketika Allah mengujimu dengan suatu musibah, engkau tidak bisa bersabar. Di saat engkau berusaha dan berikhtiar, selalu tidak disertai dengan sikap tawakal yang sempurna. Jika kau berdiri menghadapnya, tak ada adab kesopanan yang kau sertakan. Kau memang terlihat jauh dari Allah swt, dari sisi apa saja.
Aku memang sudah lama tak memperdulikan keadaan dirimu. Karena itu tidak heran kalau dirimu tidak seperti dulu lagi, Hari ini aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau menjadi diri yang puas dengan prestasi amalmu yang tak pernah meningkat ini ? Mudah-mudahan jawabannmu ”tidak”. Sebab aku sangat berharap kau bisa berubah menjadi lebih baik. Minimal seperti dulu, dimana engkau merasakan dekatnya pertolongan Allah atas dirimu.
Tentang Hubunganmu dengan Al Qur’an
Akhir-akhir ini, aku juga melihatmu sangat jauh dari Al Quran. Padahal Al Quran itu adalah sarana berkomunikasi dengan Allah yang paling mudah dan efektif. Tidak perlu modal dan tenaga. Dulu, kemana-mana di saku bajumu atau di tasmu selalu terselip mushaf ukuran kecil. Itu memang karena engaku memang rajin membacanya. Atau kalau pun engkau tidak sempat membacanya, minimal kau jadikan ia sebagai pengingatmu ketika terlupa dan hampir terjebak perbuatan dosa.
Kini, engkau telah terbiasa pergi tanpa mushaf di sisimu. Sebab posisinya di hatimu telah diganti oleh telepon selulermu. Jika kakimu melangkah ke luar rumah tanpa membawa mushaf, tak ada lagi kata penyesalan. Namun jika telepon selulermu yang tertinggal, kau pun panik tak terkira. Engkau kini benar-benar mementingkan berkomunikasi dengan manusia, daripada kebutuhan berkomunikasi dengan Rabb-mu sendiri.
Biasanya, di bulan Ramadhan engkau mampu menamatkan tilawah Qur’anmu lebih dari sekali. Namun di Ramadhan yang lalu, jangankan sekali, setagah kali pun tidak...apa lagi Ramadhan ini, jangankan optimis niat saja sepertinya engkau masih ragu-ragu.. Aku bingung, apakah engkau yang bosan dengan Al Quran atau Al Qur’an yang justru bosan denganmu. Kalau engkau yang bosan, mudah-mudahan dalam waktu dekat engkau akan segera mengakrabinya kembali. Tetapi kalau Al Qur’an yang bosan, aku tidak tahu, kemana lagi engku mencari pedoman hidup. Sekarang saja engkau sudah sedemikian sesat, apalagi jika Al Qur’an menjauhi dirimu. Celaka engkau wahai diriku !
Aku ingat, dan barangkali semua temanmu pun tahu. Kalau tidak percaya, coba kau tanyakan pada mereka. Dulu, ketika kau duduk, dan mendengarkan MP3 yang sering terdengar adalah tilawah Al Qur’an; dari beragam qira’. Kalau pun tidak, penggantinya tidak jauh dari nasyid-nasyid pembakar semangat dan peneduh hati. Tetapi kini, jangankan Al Qur’an, nasyid pun sudah terhapus satu persatu, berganti dengan suara-suara syetan dari berbagai aliran yang sesungguhnya engkau sendiri tahu sangat paham tidak akan memberi apa-apa padamu, kecuali membuat hatimu kian kerasdan kotor.
Ketika kau pun harus tampil membaca Al Qur’an, itu pun karena kau ingin dikatakan sebagai orang yang terpelajar. Atau sebagai qari’ yang pandai. Atau karena ingin dikedepankan dalam majelis, diminta untuk mengajar, dan dimintai fatwa tentang ini dan itu karena kau adalah aktifis masjid kampus atau pengurus masjid yang sangat dihormati mereka..
Sekiranya perasaan itu benar adanya, maka bersiaplah untuk dijauhkan dari surga, wahai diriku. Sebab Rasulullah pernah menegaskan, ”Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari ridha Allah, namun dia tidak mencarinya selain untuk memperoleh setumpuk harta dunia, dia tidak akan mendapatkan wanginya surga pada Hari Kiamat.” (HR. Bukhairi)
Wahai diriku, camkan pula hadist Rasulullah saw tentang orang-orang yang pertama kali akan diputuskan hukumannya pada hari kiamat. Salah seorang diantara mereka adalah orang yang belajar agama dan Al Qur’an.
Hari ini, aku ingin mendengar darimu jawaban yang jujur, apakah engkau melakukan itu karena menginginkan dunia atau karena ingin mencari ridha Allah, seperti yang biasa kau ucapkan ? Rasanya, engku masih perlu lebih banyak belajar tentang ilmu ikhlas.
Tentang Hubunganmu dengan sesama manusia.
Wahai diriku, Rasulullah tercinta pernah bersabda kepada istrinya, Aisyah ra, ”Wahai Aisyah, sesungguhnya orang yang kedudukannya paling buruk di sisi Allah di Hari Kiamat adalah orang yang ditinggalkan orang lain karena takut pada kejahatannya.” (HR. Bukhari)
Pertanyaanku, bagaimana dengan dirimu sendiri ? Seperti apa muamalahmu selama ini dengan orang lain. Bagaimana sikapmu dengan para tetangga ? Adakah engkau sudah menjenguk mereka ketika mereka sedang sakit ? Sudahkah engkau membantu temanmu yang kesusahan ? Seperti apa pula baktimu pada orangtua ? Mereka semua adalah orang-orang yang ada disekilingmu, yang wajib engkau pergauli dengan baik.
Diriku, yakinilah engkau jarang memperhatikan temanmu yang sedang kesusahan. Ketika seorang di antara mereka hendak meminjam uang darimu karena kebutuhan yang sangat mendesak, kau katakan kepadanya sedang tidak punya uang. Padahal aku tahu, waktu itu engkau masih punya simpanan uang. Engkau sulit sekali membantu orang lain.
Suatu hari, ketika seorang peminta sumbangan mengucap salam di depan pagar rumahmu, aku melihatmu berpura-pura tidak mendengarnya. Horden yang sedikit terbuka, pun segera kau tutup pelan-pelan agar orang itu bisa segera berlalu. Tidak hanya sampai di situ kelakuanmu, aku bahkan merasakan hatimu berbisik, ”Ah, paling untuk dirinya sendiri.”
Seburuk itukah engkau sekarang, wahai diriku ? Bukankah engaku hapal banyak dalil tentang keutamaan bersedekah. Jika engkau memang tidak ingin bersedekah, maka berkatalah jujur. Jangan pula menambah keburukanmu dengan prasangka yang tidak baik.
Kepada orangtuamu, engkau pun tidak memperlihatkan bakti, Kau jarang bersama mereka. Hari-harimu disibukkan dengan bekerja, ataupun kuliah atau bahkan hari-harimu hanya disibukkan dengan berkumpul dengan teman-temanmu yang tak mengenal waktu.
Kau jarang mempedulikan mereka, apalagi meringankan kesulitannya. Bahkan untuk sekedar menanyakan keadaan mereka lewat telepon engkau tak sempat. Engkau banyak meminta perhatiannya untumu, tetapi sebaliknya, kau sering melupakannya. Yang kutahu dari kebaikanmu yang tersisa, adalah doamu kepada Allah untuk mereka. Hanya itu. Padahal engkau tahu, bahwa bakti kepada orangtua akan mengundang keberkahan, serta menyibak kesulitan.
Wahai diriku, engkau seolah mampu mengatasi masalahmu sendiri, karena itu kau merasa tidak butuh dengan orang lain. Engkau abaikan mereka dalam hidupmu. Engkau hanya bergaul dengan orang, yang kamu yakin akan menguntungkan dirimu dari sisi materi. Tinggalkan sifat ini, karena hanya akan merugikan suatu hari nanti. Perbaikilah hubunganmu dengan sesama manusia. Berkasih sayangalah dengan mereka, agar Allah dan para malaikatnya yang ada di atas langit disana, pun mengasihi dirimu.
Tentang Kondisi Hatimu
Bagaimana pula dengan kondisi hatimu kini ? Ini pertanyaanku selanjutnya. Aku menanyakan ini karena kita sama-sama paham, bahwa hatilah yang paling menentukan kebaikan dan keburukan seseorang.
Hati itu, wahati diriku, sangat mudah di hinggapi penyakit, yang disebut dengan maksiat-maksiat hati. Penyakit ini takkan tampak oleh mata dan tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah swt, wahai diriku.
Saat ini, aku mulai mengkhawatirkan hatimu. Aku takut ia telah terserang penyakit-penyakit itu. Sebab tanda-tandanya sudah banyak kurasakan, dan aku yakin engkau pun merasakan itu. Karena itu aku ingin mengungkapkan beberapa fakta agar aku bisa tahu sejauh mana kebenaran dugaanku ini.
Sekarang aku melihatmu sering iri dan dengki kepada saudara atau sahabatmu karena kelebihan yang mereka peroleh. Karena nilai ujian mereka yang lebih tinggi dari dirimu, karena harta mereka yang lebih, karena jabatan yang mereka raih, dsb. Lupakah engkau bahwa itu semua hanyalah kesenangan dunia yang bersifat sementara dan akan segera lenyap ? Mengapa dengan keshalihan orang lain justru engkau tidak pernah berkaca ? Aku tidak pernah melihatmu iri dengan orang yang banyak menghapal Al Quran, atau dengan orang yang rajin shalat malam, atau dengan orang yang tekun berpuasa sunnah. Tidak pernah, wahai diriku !!!
Masih banyak kejanggalan lain yang kurasakan di hatimu. Ada rasa bangga yang berlebihan, ada kesombongan, dan riya; penyakit yang paling berbahaya itu juga ada. Terlalu panjang jika aku beberkan semua. Kita memohon kepada Allah agar hati kita dijernihkan kembali, dari segala noda dan maksiat. ”Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati. Tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu dan ketaatan kepada-Mu.”
Wahai diriku, kiranya sampai disini pertanyaan-pertanyaanku. Ini semua tidak aku maksudkan untuk menyudutkanmu, melainkan karena aku begitu mencintaimu. Sebab keselamatanmu adalah keselamatanku. Keselamatan kita. Aku tahu, ada banyak petikan yang menusuk hatimu, bahkan mungkin membuatmu menetaskan air mata. Namun, apa guna itu semua, kalau tidak ada perubahan yang kau tunjukkan padaku. Satu rakaat shalat witir yang kau biasakan dalam setiap malam yang kau lewati, lebih mulia di sisi Allah daripada kerjakerasmu menghimpun dunia dan segala isinya. Satu lembar Al Quran yang kau baca setiap hari, lebih Allah cintai daripada beribu-ribu lembar rupiah yang kau tumpuk di bank. Sepotong roti yang kau sedekahkan lebih Allah senangi dari segunung emas yang kau kumpulkan.
Semoga Allah menyelematkan kita, wahai diriku..
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas