بسم الله الرØمن الرØيم
Mungkin salah satu cara bagi mereka agara tetap tak hilang dalam sejarah adalah berkarya, membuat sesuatu yang monumental hingga ia dikenal dalam sejarah, tak tenggelam dan hilang jejaknya.
Pun sebuah autobiografi, sebuah perjalanan hidup yang ditulis sendiri (atau dituliskan oleh orang lain) yang akan membuat orang-orang di generasi-generasi setelahnya tetap mengenalnya. Setidaknya itu yang saya dapatkan dari autobiografi Muhammad Ali yang ditulis bersama (atau oleh / diceritakan) Richard Durham. The Greatest: My Own Story atau yang dialihbahasakan menjadi Yang Paling Besar sebagai autobiografi Muhammad Ali.
Bukannya saya tidak tahu tentang Muhammad Ali, namun pengetahuan saya tentangnya mulanya hanya sekadar salah satu legenda tinju yang bermulut besar yang juga seorang mualaf. Wafatnya Ali beberapa bulan silam langsung menaikkan kembali fakta atau informasi mengenai Muhammad Ali, seperti beberapa video wawancara Muhammad Ali, penyakit Parkinson yang dideritanya, atau permintaannya untuk menempatkan bintang Walk of Fame-nya di dinding bukan di atas tanah (ground) seperti bintang lainnya.
Nah, autobiografi inilah yang akhirnya saya baca untuk mengetahui lebih dalam lagi tentangnya, tentang mengapa ia disebut bermulut besar, tentang mengapa ia memutuskan menjadi mualaf serta hal-hal lainnya.
The Greatest: My Own Story ini diawali dengan perjalanannya pulang ke Louisville, tempat kelahirannya setelah ia dikalahkan Ken Norton di San Diego. Lalu menceritakan saat-saat kekalahannya termasuk kekagetan dan histeris istrinya, Belinda Boyd (Khalilah Ali), atas luka parah yang diderita Ali. Kisah pun dilanjut dengan mengingat masa-masa kecilnya di Louisville. Termasuk keputusannya menjadi petinju. Diakuinya dalam autobiografi, bahwa keinginannya menjadi petinju bukanlah karena hilangnya sepedanya lalu, namun selepas sepedanya hilang dan tak menemukannya setelah mencari sana-sini, ia disarankan bertanya pada orang di gymnasium. Di sanalah Ali melihat orang-orang berlatih tinju dan akhirnya tertarik dan bulat untuk menekuninya.
Kisah-kisah selanjutnya tentunya menceritakan perjalanannya dalam dunia tinju, yang diawali dari gelanggang pertandingan-pertandingan kecil antar wilayahnya, hingga akhirnya ia memenangi Sarung Tinju Emas di Chicago pada 1959 (atau ketika berumur 17 tahun). Ia pun lalu dikenal luas dan menjadi pahlawan Louisville ketika berhasil meraih Medali Emas di ajang Olimpiade Roma tahun 1960 untuk kelas Ringan-Berat (Light-Heavyweight). Uniknya, medali emas ini malah sengaja ia lempar ke sungai di Louisville yang membuatnya kena marah sahabatnya.
[info title="Info" icon="info-circle"]Tulisan ini termasuk ulasan buku-buku yang saya baca, untuk melihat ulasan lainnya, silakan klik di sini.[/info]
Namun statusnya sebagai orang kulit hitam (terlebih ia memiliki nama belakang Clay yang merupakan nama budak) kerapkali direndahkan atau setidaknya tidak dimunculkan ke publik, misalnya ia pernah diberitakan sebagai seorang yang lebih putih dari orang hitam lainnya dan bahwa ayahnya adalah keturunan Henry Clay (politisi Amerika yang juga orator handal) serta berasal dari keluarga yang tidak miskin. Kenyatannya sebaliknya, Cassius Clay (nama lahir Muhammad Ali) berasal dari keluarga miskin dan kehidupan keluarganya mulai membaik setelah mengalirnya uang yang dihasilkan dari pertandingan-pertandingan Muhammad Ali. Ia pun pernah diusir bersama rekannya di tempat makan karena ia seorang kulit hitam (meski ia telah menjadi peraih medali emas Olimpiade).
Keputusannya untuk menjadi mualaf dan bergabung dengan Nations of Islam / NOI (yang dulu dikenal juga sebagai organisasi Muslim Hitam / Black Moslem. NOI sendiri dinyatakan sesat karena perbedaan ajaran dengan Islam, termasuk pengakuan Elijah Muhammad -pemimpinnya di masa Muhammad Ali- sebagai nabi. Ali sendiri mengikuti jejak Malcolm X keluar dari NOI) pun menjadi kontroversi baginya, termasuk hubungannya dengan Malcolm X. Bahkan pertandingannya dengan Sonny Liston pernah batal karena keterlibatannya dengan NOI dan hubungannya dengan Malcolm X. Keputusannya menjadi seorang mualaf dan keteguhannya atas agamanya pun membuat ia menceraikan istri pertamanya, Sonji Roi, karena ia keberatan untuk mentaati aturan Islam dan tak ingin menjadi seorang Muslim. Sempat bergabungnya Ali ke kelompok Black Moslem (meski akhirnya ia keluar) dikarenakan ia melihat organisasi ini menjadi celah untuk membebaskan orang kulit hitam dari aksi rasial di Amerika saat itu.
Ali, sebagaimana diketahui orang-orang dijuluki Si Mulut Besar. Hal ini diakui dan disengajai olehnya sendiri. Diakuinya, sikapnya ini ia awali saat di Olimpiade Roma lalu terus berlanjut. Ia seringkali meramalkan kekalahan lawannya pada saat konferensi pers sebelum hari pertandingan, ia meramalkan di ronde berapa lawannya kalah, dan seringkali hal itu terbukti. Ia pun seringkali mengatakan bahwa ia Petinju Terbesar atau ungkapan lainnya. Ia tahu bahwa orang-orang tidak suka dengan orang bermulut besar, namun hal ini dimanfaatkannya. Salah satu efeknya adalah orang-orang banyak yang mengharapkan ia kalah, orang banyak datang ke pertandingannya, juga membuat uang hasil pertandingannya pun meningkat. Namun setidaknya apa yang dikatakannya itu seringkali dibuktikan dengan performanya di atas gelanggang (tidak jauh beda dengan Zlatan Ibrahimovic di sepakbola, yang juga mengagumi Muhammad Ali).
Hal menarik lainnya dari Ali adalah sikapnya atas Perang Vietnam dan penolakannya untuk mengikuti Wajib Militer. Dalam sebuah konferensi pers ia mengatakan bahwa sebagai seorang Muslim pantang baginya untuk terlibat dalam peperangan yang tidak adil baginya itu. Sikapnya ini berakibat dengan vonis penjara lima tahun baginya (yang kemudian dibatalkan) juga dengan diskorsnya ia untuk bertanding.
Bagian-bagian selanjutnya dalam buku ini menceritakan kisahnya dalam pertandingan-pertandingan penting atau besar, dan apa yang dilakukannya sebelum pertandingan berlangsung. Pertandingan-pertandingannya melawan Sonny Liston, Floyd Patterson, George Foreman serta Joe Frazier tuntas ia kisahkan. Termasuk kunjungannya dan hubungannya dengan tokoh dunia sepert Muammar Qadafi di Libya, yang mana ia pun sempat berkunjung ke Tripoli.
Akhirnya, Muhammad Ali yang wafat sebelum Ramadhan tahun ini memang memiliki kisah hidup yang menarik. Kepergiannya kala itu memang pantas disebut sebagai kehilangan besar. Ucapannya yang seringkali menjadi kutipan juga video-video wawancaranya juga menjadi bukti lain dari kepribadiannya. The Greatest: My Own Story, Muhammad Ali.
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. - Pramoedya Ananta Toer-
Mungkin salah satu cara bagi mereka agara tetap tak hilang dalam sejarah adalah berkarya, membuat sesuatu yang monumental hingga ia dikenal dalam sejarah, tak tenggelam dan hilang jejaknya.
Pun sebuah autobiografi, sebuah perjalanan hidup yang ditulis sendiri (atau dituliskan oleh orang lain) yang akan membuat orang-orang di generasi-generasi setelahnya tetap mengenalnya. Setidaknya itu yang saya dapatkan dari autobiografi Muhammad Ali yang ditulis bersama (atau oleh / diceritakan) Richard Durham. The Greatest: My Own Story atau yang dialihbahasakan menjadi Yang Paling Besar sebagai autobiografi Muhammad Ali.
Bukannya saya tidak tahu tentang Muhammad Ali, namun pengetahuan saya tentangnya mulanya hanya sekadar salah satu legenda tinju yang bermulut besar yang juga seorang mualaf. Wafatnya Ali beberapa bulan silam langsung menaikkan kembali fakta atau informasi mengenai Muhammad Ali, seperti beberapa video wawancara Muhammad Ali, penyakit Parkinson yang dideritanya, atau permintaannya untuk menempatkan bintang Walk of Fame-nya di dinding bukan di atas tanah (ground) seperti bintang lainnya.
Nah, autobiografi inilah yang akhirnya saya baca untuk mengetahui lebih dalam lagi tentangnya, tentang mengapa ia disebut bermulut besar, tentang mengapa ia memutuskan menjadi mualaf serta hal-hal lainnya.
The Greatest: My Own Story ini diawali dengan perjalanannya pulang ke Louisville, tempat kelahirannya setelah ia dikalahkan Ken Norton di San Diego. Lalu menceritakan saat-saat kekalahannya termasuk kekagetan dan histeris istrinya, Belinda Boyd (Khalilah Ali), atas luka parah yang diderita Ali. Kisah pun dilanjut dengan mengingat masa-masa kecilnya di Louisville. Termasuk keputusannya menjadi petinju. Diakuinya dalam autobiografi, bahwa keinginannya menjadi petinju bukanlah karena hilangnya sepedanya lalu, namun selepas sepedanya hilang dan tak menemukannya setelah mencari sana-sini, ia disarankan bertanya pada orang di gymnasium. Di sanalah Ali melihat orang-orang berlatih tinju dan akhirnya tertarik dan bulat untuk menekuninya.
Kisah-kisah selanjutnya tentunya menceritakan perjalanannya dalam dunia tinju, yang diawali dari gelanggang pertandingan-pertandingan kecil antar wilayahnya, hingga akhirnya ia memenangi Sarung Tinju Emas di Chicago pada 1959 (atau ketika berumur 17 tahun). Ia pun lalu dikenal luas dan menjadi pahlawan Louisville ketika berhasil meraih Medali Emas di ajang Olimpiade Roma tahun 1960 untuk kelas Ringan-Berat (Light-Heavyweight). Uniknya, medali emas ini malah sengaja ia lempar ke sungai di Louisville yang membuatnya kena marah sahabatnya.
[info title="Info" icon="info-circle"]Tulisan ini termasuk ulasan buku-buku yang saya baca, untuk melihat ulasan lainnya, silakan klik di sini.[/info]
Namun statusnya sebagai orang kulit hitam (terlebih ia memiliki nama belakang Clay yang merupakan nama budak) kerapkali direndahkan atau setidaknya tidak dimunculkan ke publik, misalnya ia pernah diberitakan sebagai seorang yang lebih putih dari orang hitam lainnya dan bahwa ayahnya adalah keturunan Henry Clay (politisi Amerika yang juga orator handal) serta berasal dari keluarga yang tidak miskin. Kenyatannya sebaliknya, Cassius Clay (nama lahir Muhammad Ali) berasal dari keluarga miskin dan kehidupan keluarganya mulai membaik setelah mengalirnya uang yang dihasilkan dari pertandingan-pertandingan Muhammad Ali. Ia pun pernah diusir bersama rekannya di tempat makan karena ia seorang kulit hitam (meski ia telah menjadi peraih medali emas Olimpiade).
Keputusannya untuk menjadi mualaf dan bergabung dengan Nations of Islam / NOI (yang dulu dikenal juga sebagai organisasi Muslim Hitam / Black Moslem. NOI sendiri dinyatakan sesat karena perbedaan ajaran dengan Islam, termasuk pengakuan Elijah Muhammad -pemimpinnya di masa Muhammad Ali- sebagai nabi. Ali sendiri mengikuti jejak Malcolm X keluar dari NOI) pun menjadi kontroversi baginya, termasuk hubungannya dengan Malcolm X. Bahkan pertandingannya dengan Sonny Liston pernah batal karena keterlibatannya dengan NOI dan hubungannya dengan Malcolm X. Keputusannya menjadi seorang mualaf dan keteguhannya atas agamanya pun membuat ia menceraikan istri pertamanya, Sonji Roi, karena ia keberatan untuk mentaati aturan Islam dan tak ingin menjadi seorang Muslim. Sempat bergabungnya Ali ke kelompok Black Moslem (meski akhirnya ia keluar) dikarenakan ia melihat organisasi ini menjadi celah untuk membebaskan orang kulit hitam dari aksi rasial di Amerika saat itu.
Ali, sebagaimana diketahui orang-orang dijuluki Si Mulut Besar. Hal ini diakui dan disengajai olehnya sendiri. Diakuinya, sikapnya ini ia awali saat di Olimpiade Roma lalu terus berlanjut. Ia seringkali meramalkan kekalahan lawannya pada saat konferensi pers sebelum hari pertandingan, ia meramalkan di ronde berapa lawannya kalah, dan seringkali hal itu terbukti. Ia pun seringkali mengatakan bahwa ia Petinju Terbesar atau ungkapan lainnya. Ia tahu bahwa orang-orang tidak suka dengan orang bermulut besar, namun hal ini dimanfaatkannya. Salah satu efeknya adalah orang-orang banyak yang mengharapkan ia kalah, orang banyak datang ke pertandingannya, juga membuat uang hasil pertandingannya pun meningkat. Namun setidaknya apa yang dikatakannya itu seringkali dibuktikan dengan performanya di atas gelanggang (tidak jauh beda dengan Zlatan Ibrahimovic di sepakbola, yang juga mengagumi Muhammad Ali).
Hal menarik lainnya dari Ali adalah sikapnya atas Perang Vietnam dan penolakannya untuk mengikuti Wajib Militer. Dalam sebuah konferensi pers ia mengatakan bahwa sebagai seorang Muslim pantang baginya untuk terlibat dalam peperangan yang tidak adil baginya itu. Sikapnya ini berakibat dengan vonis penjara lima tahun baginya (yang kemudian dibatalkan) juga dengan diskorsnya ia untuk bertanding.
Bagian-bagian selanjutnya dalam buku ini menceritakan kisahnya dalam pertandingan-pertandingan penting atau besar, dan apa yang dilakukannya sebelum pertandingan berlangsung. Pertandingan-pertandingannya melawan Sonny Liston, Floyd Patterson, George Foreman serta Joe Frazier tuntas ia kisahkan. Termasuk kunjungannya dan hubungannya dengan tokoh dunia sepert Muammar Qadafi di Libya, yang mana ia pun sempat berkunjung ke Tripoli.
Akhirnya, Muhammad Ali yang wafat sebelum Ramadhan tahun ini memang memiliki kisah hidup yang menarik. Kepergiannya kala itu memang pantas disebut sebagai kehilangan besar. Ucapannya yang seringkali menjadi kutipan juga video-video wawancaranya juga menjadi bukti lain dari kepribadiannya. The Greatest: My Own Story, Muhammad Ali.
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas