Titik Nol Islam Nusantara: Dekatnya Jarak dengan Rasulullah saw, Harmoni Agama-Politik, dan Internasionalisme Islam
بسم الله الرØمن الرØيم
[tab] [content title="Tentang Penulis"] Arya Sandhiyudha
Pengamat Politik Islam dan Hubungan Internasional [/content] [/tab]
Pak Presiden Jokowi meresmikan Barus, Sumatera Utara sebagai titik nol penyebaran Islam di Indonesia. Sesungguhnya hadirnya gagasan beliau tentang "Barus sebagai titik nol" dapat kita -rakyat Indonesia- maknai dengan tiga hal menarik sekaligus positif:
Presiden Joko Widodo meresmikan Titik Nol Islam Nusantara di Barus, Sumatera Utara. sumber: .tribratanewspoldasumut.com |
Pertama, Barus sebagai titik nol adalah ralat resmi terhadap buku-buku sejarah yang menyebutkan datangnya Islam di Indonesia pada abad ke-13 dan menegaskan abad ke-7 merupakan awalnya. Ini artinya, betapa dekat jaraknya dari masa Rasulullah shalallahu'alaihi wa salam dan Khulafaur-Rasyidin. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang panjangnya kira-kira 7 meter.
Kedua, abad ke-7 adalah bukti terjadinya sinergi dan harmoni antara unsur-unsur agama dan politik, bukan pemisahan atau antagonisme agama dan politik. Dalam serial sejarah kota Barus saat itu berada dalam wilayah Sriwijaya yang dipimpin Sri Indravarman, Raja Sriwijaya pertama yang beragama Muslim dan kerap berkorespondensi dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, cicit Umar Bin Khathab radiyallahuanhu
Ketiga, Barus sebagai titik nol Islam Nusantara sekaligus Internasionalisme Islam, sebab ia juga tercatat sebagai Kampung Arab Muslim pertama di Indonesia. Cara memaknai yang demikian memperkokoh pesan Bung Karno, "Nationality can only be preserve upon a base which is larger than the nation itself" - bahwa kebangsaan kita justru semakin eksis ketika dilandasi dasar yang utuh, kokoh, luas, dan global. Pada masa itu Barus yang belum menjadi kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, merupakan kota Imperium dan pusat peradaban pada abad 1 – 17 M yang juga disebut dengan nama lain: Fansur. Kampung kecil ini pasca Sriwijaya kemudian dikelola oleh kerajaan Aceh Darussalam. Barus pun mendunia, dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya.
Barus dapat menjadi simbol hubungan internasional serta bukti bahwa kebutuhan ekonomi telah merekatkan interaksi anak segala bangsa. Nusantara menjadi persinggahan para pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi.
Sebagai sebuah hajat, sosialisasi dan aktivitas ekonomi yang terus berproses menciptakan Barus abad ke 9-12 yang multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu dan sebagainya.
Dari perkampungan Muslim di tepian, kemudian masuk ke pusaran kekuasaan Sriwijaya. Dari asimilasi dengan penduduk, hingga raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai.
[tab] [content title="Tentang Penulis"] Arya Sandhiyudha
Pengamat Politik Islam dan Hubungan Internasional [/content] [/tab]
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas