بسم الله الرحمن الرحيم
[tab]
[content title="Tentang Penulis"]
Nugroho Adinegoro
Penulis adalah Founder Strategic Leadership Forum (BSLF), Chief Operation Officer Semoga Bermanfaat.Pemerhati Sosial Dipatiukur Research Center Unpad (DIRRECT). [/content] [/tab]
“Eksistensi Mendahului Esensi”
-Jean Paul Sartre-
Di era sosial media muncul padanan, di balik citra diri terdapat foto dan caption bagus. Di balik foto bagus selalu ada orang teman yang sengsara. Sengsara membantu mereka mendapatkan foto bagus. Di balik foto-foto ekstra indah di berbagai media sosial selalu ada orang-orang dibalik layar yang merancang titik-titik lokasi menarik. Gaya-gaya menarik yang kemudian mengundang jutaan like, komentar dan share. Kesempurnaan foto dan keindahan caption adalah harga mati yang wajib diunggah dalam akun pribadi dalam fenomena keseharian. Ya, this is digital era saat gadget adalah barang primer kebutuhan informasi yang membahana menceritakan aktifitas dan pesona diri yang dunia wajib tahu.
Wefie Puan Maharani, Megawati Soekarnoputri, dan Raja Salman. sumber: reuters.com |
Dengan pertumbuhan 132,7 juta pengguna internet di Indonesia, ditambah dengan menjamurnya jejaring sosial yang memungkinkan seseorang untuk berbagi foto, di manapun, kapanpun dengan siapapun secara instan, hanya dalam hitungan detik saja selfie menjadi fenomena sosial luar biasa. Fenomena selfie lahir ketika gadget plus kamera, menjadi barang primer. Survey Opinium bahkan menunjukkan bahwa 16 miliar foto telah dibagikan di sosial media rentang waktu 2015-2016. Dari dua ribu responden, 51 % menyatakan diri bahwa selfie adalah bagian dari citra diri. Selfie sejumlah 35 juta dihasilkan setiap bulannya, 48% mengepos di Facebook, 9% di Twitter, 8 % di Instagram, 5% di Snapchat, 13% di WhatsApp, dan 17% di media sosial lainnya.
Wabah selfie kemudian mengubah “peradaban” manusia. Mulai dari Obama dan para pemimpin dunia berselfie dalam pertemuan pemimpin dunia, hingga anak muda yang jatuh ke kawah Merapi gara-gara sebuah pengabadian. Jikalau boleh meminjam istilah filsafat yang terkenal Cogito Ergo Sum milik filsuf Perancis, Rene Descartes, selfie adalah proses eksistensi untuk sebuah pengakuan jati diri. Jika Descartes berkata, “Aku Berpikir Maka Aku Ada”. Maka era kini mungkin Selfito Ergo Sum “Aku Berswafoto, Maka Aku Ada” menjadi trend keseharian manusia-manusia bumi. Plesetan yang membuat kita seperti sebuah menemukan mainan baru, bersenang-senang dan lama-lama ketagihan. Selfie mungkin memiliki garis tegas dari eksistensi diri mengabadikan gambar dalam berbagai peristiwa yang mewujudkan keadaan bahwa ia ada. “Aku bereksistensi!”, menjadi sebuah diskurs panjang filsafat sejak dulu dan kini menjadi fenonema budaya yang menarik untuk kita dalami sejak menemukan mainan baru bernama gadget berkamera depan.
Perjalanan selfie sendiri cukup panjang. Dalam beberapa literasi, foto selfie pertama dibuat tahun 1839 oleh Robert Cornelius. Dalam literatur yang berbeda, Duchess Anastasia Nikolaevna seorang Rusia, juga disebut-sebut sebagai selfie-ers pertama di tahun 1914. Terlepas dari siapa yang pertama narsis, perkembangan kamera dan gadget menjadi pemicu yang revolusioner. Ketika era kamera polaroid pertama lahir tahun 70an, seorang Andy Warhol pun sempat selfie. Tentu kita bakal menemukan jejak selfie itu di banyak tempat, bahkan mungkin diri kita atau kerabat, adalah salah satu pelaku sejarah selfie di masanya.
Sebaran Selfie di Media Sosial 2015-2016 (sumber data: Optinium) |
Eksistensialisme Selfie
Selfiers, siapapun orangnya, sebenarnya sedang berada dalam ruang tarik-menarik menjadi kaum eksistensialis. Terlepas dari alasan dan pembelaan bahwa selfie hanya bagian dari fenomena dokumentasi kesenangan atau sekadar keriaan sesaat, diktum terkenal milik Filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, “human is condemned to be free“ mungkin mampu menggambarkan hakikat manusia dalam kehendaknya. Sartre berasumsi bahwa, manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Fenomena selfie adalah fenomena sebuah patron kebebasan, sebuah lelakon universalitas manusia. Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Manusia adalah apa yang ia cita-citakan, maka manusia ada sejauh ia merealisasikan dirinya sendiri. (Sartre: 2002)
Dalam kacamata gaya hidup, banyak pelaku selfie yang mengembangkan perilaku ini sebagai bagian dari self-marketing dalam arti positif. Ini risiko dari kemajuan teknologi dan pemahaman baru tentang eksistensi dalam digital media era. Sarah Kennel, kurator fotografi National Gallery of Art USA, fenomena selfie ini dianggap sebagai sebuah hal yang wajar dan dianggap sebagai upaya kebanggaan dan kecintaan pada diri sendiri. James Kilner, dosen senior Human Motor Neurosciences, University College London, mengungkapkan alasan orang tertarik dan terobsesi selfie karena banyak orang banyak meluangkan waktu melihat dan menafsirkan wajah atau ekspresi orang lain dalam situasi sosial sehari-hari lewat media sosial.
Lifestyle
Diakui atau tidak, selfie kini menjadi gaya hidup mainstream. Akan disebut ketinggalan kalau tidak melakukannya. Kesempurnaan visual itu harga mati. Barangkali itu mampu menggambarkan perilaku pengguna media sosial dalam mengejar foto-foto bagus yang diunggah ke akun masing-masing. Maka, bertebaranlah mereka ke seluruh penjuru bumi mengejar kesempurnaan gambar dan perayaan diri di media sosial meski kadang hingga keringat bercucur dan bedak luntur. Produsen gadget yang paham kondisi riil pasar pun, memilih menjual produknya dengan iming-iming kelebihan untuk selfie. Smartphone, kamera DSLR, mirrorless, hingga drone, kini semua memberikan alternatif gambar yang variatif dan mudah hingga bisa langsung diunggah ke social media dimiliki. Termasuk kehadiran tongsis alias tongkat narsis juga melengkapi perlengkapan standar sebuah perjalanan manusia era kini. Setelah foto diunggah, perpaduan foto unik dan kata-kata puitis semoga mampu menarik followers untuk memberikan like bahkan menambah followers. Eksistensi manusia terukur dari jumlah like, follower, dan share. Banyak orang yang menghapus foto-foto jika dirasa respon follower kurang bagus, atau jumlah like tak seberapa. Era kini banyak orang geram saat fotonya dicibir, atau marah saat fenomena unfollow akun media sosial menjadi bagian tindakan tak terpuji dari sebuah hubungan sosial. Ya, eksistensi di dunia media sosial dianggap penting hari ini. Dengan cara itu mereka merasa menikmati hidup.
Selain menyukai traveling, eksis di dunia maya adalah tujuan utama mengunjungi berbagai tempat wisata di Indonesia. Tagar #WisataBdg atau #ExploreIndonesia misalnya, terdapat ratusan ribu gambar. Menghasilkan perputaran modal ekonomi bagi pelaku wisata dan pengusaha wisata dan kuliner. Manusia-manusia bertebaran ke penjuru bumi, unjuk pamer foto pernah karena pernah ketempat bagus yang tak semua orang pernah hadir menginjakkan kakinya disana. Mengabadikan diri di garis pantai Bali, menyelami dan mengabadikan keindahan alam laut Bunaken, bergaya none-none Belanda di Farm House Bandung, atau menantang debu vulkanik puncak Mahameru semuanya bercerita tentang eksistensi ke “Aku-an”.
Pakar Komunikasi Budaya Pop Idi Subandy Ibrahim menilai fenomena selfie dimaknai sebagai perayaan kesendirian. Ia ingin menyatakan sudah mendatangi tempat-tempat indah. Ini sekaligus menunjukkan “keakuan, kekitaan” sehingga tidak dianggap sebagai orang lain. Dorongan pengakuan “kekitaan” itu lalu diperantarai pengelola tempat-tempat wisata sebagai sarana pendongkrak ekonomi. Munculah komodifikasi sekaligus pencitraan atau marketing diri. Itu juga sebagai pelarian ketika hubungan di dunia nyata mendingin. Orang mencari kehangatan baru di dunia maya lewat kolom komentar atau jumlah like. Orang-orang tidak akan berhenti berfoto di tempat yang mengesankan keindahan meski sebenarnya secara makro tempat itu biasa saja. Sebab alam bawah sadar manusia rindu keindahan ketika bumi semakin tak nyaman mata. Mereka butuh imaji ramah di mata. Akhirnya dapat dimaklumi bentuk selfie adalah bagian dari eksistensialisme demi perayaan kedirian, dia tak peduli keringatnya bercucur, dia tak peduli bedaknya luntur atau pun tak peduli bahaya bisa saja mendera. Dan kita mungkin bisa mengambil kesimpulan sebuah fenomena era kini, sebagaimana sabda Sartre, “Eksistensi mendahului Esensi”.
Penulis adalah Founder Strategic Leadership Forum (BSLF), Chief Operation Officer Semoga Bermanfaat.Pemerhati Sosial Dipatiukur Research Center Unpad (DIRRECT). [/content] [/tab]
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas