بسم الله الرØمن الرØيم
[tab] [content title="Tentang Penulis"] Yandri Rama
Penulis adalah alumni program studi Sejarah Universitas Padjadjaran, pemerhati sejarah dan aktif dalam diskusi-diskusi sosial dan sejarah. [/content] [/tab]
Saat ini ketika kita memakai jas safari, gaun, bersepatu pantofel, kemudian makan menggunakan piring dan menyuap makanan dengan sendok atau segala perkakas terbuat dari kaca atau keramik, hal ini sudah kita anggap lumrah. Perlengkapan dan perkakas ini sudah terintegrasi dalam keseharian kita. Perlu sekiranya untuk melihat ke belakang, saat negara ini berada di bawah kolonialisme Belanda tidak hanya berbicara peperangan, penaklukan wilayah, pengurasan sumber daya alam, kerja paksa dan sendi-sendi kehidupan yang lainnya. Pertemuan budaya yang berbeda, membentuk sebuah pola dan tampilan baru di kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Interaksi budaya ini kemudian dikenal dengan budaya Indis.
Kebudayaan Indis yang terbentuk setelah interaksi budaya dalam kurun beberapa ratus tahun di antaranya mencakup ke dunia fashion, perkakas, dan makanan. Terbentuknya kebudayaan baru ini menurut Sartono Kartodirdjo tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Dari rangkaian ini menghadirkan suasana baru dan persilangan tradisi yang mengharmonisasi menjadi gaya hidup baru. Dalam keseharian kita saat ini, begitu banyak hasil kebudayaan Indis ini yang kita sandang dan sudah menjadi nilai dalam masyarakat kita.
Kedatangan Belanda pada abad ke-17 dan Inggris yang pernah bercokol di sebagian wilayah Indonesia pada abad ke-18 membawa perubahan yang cukup berarti. Praktek kelas sosial yang diberlakukan oleh bangsa Eropa memang menimbulkan jurang pemisah, tapi pada kalangan tertentu tradisi yang dijalankan bangsa Eropa diserap menjadi kebudayaan baru Pribumi dan begitu juga sebaliknya. Saling ketergantungan terjadi antar dua budaya yang berinteraksi dan membentuk pola baru. Dalam dunia fashion (pakaian) membawa corak baru bagi pribumi dan bangsa Eropa.
Fashion
Inggris ketika berkuasa di tanah Jawa pada masa Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816) dalam waktu singkat berhasil mengubah wajah dunia pakaian pribumi. Melalui surat kabar, Raffles menancapkan norma-norma ala Eropa di tengah-tengah masyarakat Jawa. Wanita Eropa terlarang mengenakan kebaya, tidak beralas kaki, duduk di lantai sebagaimana halnya tradisi masyarakat pribumi. Penetapan norma ini, menginternalisasi nilai berpakaian ala Eropa.
Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa memaparkan persentuhan budaya ini menjadikan masyarakat Hindia mulai mengenakan pakaian ala Eropa. Memakai sepatu, mengenakan celana panjang dan berjas bagi kaum pria priyayi, mengenakan gaun bagi perempuan adalah bentuk berpakaian seperti bangsa Eropa. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat pribumi dalam berpakaian bisa dikatakan tidak mengenal pembedaan pakaian untuk aktivitasnya. Interaksi dengan budaya Barat, membawa perubahan gaya hidup berpakaian masyarakat Hindia.
Prajurit legiun Mangkunegaran dengan pakaian seragam militer Barat lengkap dengan jas, pantalon, topi dan sepatu tahun 1900. sumber: phesolo.wordpress.com |
Pada perkembangannya di abad ke-19 hingga ke-20 gaya berpakaian ini dipadu padankan dengan cara berpakaian tradisional pribumi. Terjadinya perkawinan antara bangsa Eropa dan bangsa Pribumi yang melahirkan keturunan indo menjadi sarana percampuran tradisi berpakaian ini. Sering ditemui dalam berbagai dokumentasi, lelaki berparas Eropa yang hidup bersama seorang Nyai memakai beskap Jawa dan terkadang juga dilengkapi dengan blangkonnya.
Dalam adegan film Sang Pencerah, di mana Kyai Ahmad Dahlan dalam beraktivitas di organisasi Muhammadiyah terkadang berpenampilan ala lelaki Jawa dan adakalanya berpakaian seperti meneer Belanda. Begitu juga dengan siswa-siswa yang beliau didik di sekolah Belanda, pakaian yang digunakan kombinasi antara pakaian tradisional Jawa dan pakaian bangsa Eropa. Inilah salah satu fragmen gaya hidup kebudayaan Indis yang terbentuk di wilayah Nusantara.
Hal ini mencerminkan bahwa terjadi interaksi dan percampuran budaya dalam berpakaian. Saat ini, lelaki bersepatu, menggunakan jas, berdasi, rambut rapih dengan wewangian atau perempuan dengan gaun Eropa dengan sepatu high heels dan dilengkapi dengan asesorisnya sudah lumrah kita temui. Bahkan dalam kondisi tertentu, akan terlihat aneh jika pakaian yang digunakan tidak sesuai dengan agenda dan kondisi yang sedang dijalani. Dalam dunia fashion, kolonialisme telah mengintegrasikan gaya hidup barat untuk masyarakat modern Indonesia.
Dari Ayam Zwatzuur hingga Meja Prasmanan
Sejarawan gastronomi, Fadly Rahman dalam bukunya membuktikan bahwa makanan dan minuman serta penyajiannya juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Indis. Pada masa sebelum intensnya interaksi antar pribumi dan orang-orang Eropa, budaya makan masyarakat Indonesia cenderung terlihat lebih sederhana. Duduk di lantai ketika makan, makanan disajikan dengan daun pisang atau piring kayu, mencuci tangan agar makanan yang disuap tidak lengket merupakan tata cara makan tradisional pribumi.
Persentuhan budaya makan akan terlihat pada penyajian yang dikenal dengan rijsttafel, penggunaan peralatan makan, dan variasi menu yang dihidangkan. Pola makan makan dari rijsttafel ini dalam kesehariannya dimulai dengan minum kopi dan sarapan daging dan telor di pagi hari. Saat jam makan siang dihidangkan nasi dengan panganan Nusantara yang dilanjutkan dengan hidangan Eropa. Sore hari adalah waktunya minum teh. Sedangkan malam hari, mereka akan menyantap hidangan Eropa.
Rijsttafel di salah saty keluarga Belanda di Bandung tahun 1936 sumber: wikipedia.org |
Budaya makan ini menjadi memasyarakat setelah restauran dan hotel-hotel mulai menyajikan makanan ala rijsttafel. Menu yang dihidangkan bercitarasa Barat dan Nusantara serta dihidangkan dengan cara penyajian Eropa. Ciri khas yang tampak dari penyajian ini di antaranya penggunaan jasa pelayan dari kalangan pribumi yang lengkap dengan seragam khasnya. Penggunaan peralatan makan seperti sendok, garpu, pisau, piring adalah bentuk dari rijsttafel ketika mulai memasyarakat. Budaya ini semakin populer pada awal abad ke-20, di mana hotel ternama seperti Des Indes di Batavia dan Savoy Homan di Bandung menyuguhkan rijsttafel sebagai layanan andalannya.
Budaya makan rijsttafel membawa warna baru dari menu makanan yang ada di Indonesia. Pada saat ini sudab lazim kita mendengar panganan ayam suar-suir (zwartzuur), perkedel (frikadel), bistik (biefstuk), sup (soep), semur (smoor), dan lain-lain. Nama-nama sebagian kecil dari makanan pilihan yang lahir dari sentuhan hidangan Belanda setelah mengalami percampuran dan adaptasi bahan. Makan bersama yang di hidangkan pada meja bulat atau panjang dan meja prasmanan juga bentuk khas penyajian dari rijsttafel.
Kemunculan budaya Indis tidak hanya pada seputar pakaian dan makanan. Bidang-bidang lain juga mendapat pengaruh budaya Indis di Indonesia. Arsitektur, seni pertunjukan, aktivitas harian, upacara pernikahan, dan sendi-sendi kehidupan lainnya mendapat pengaruh budaya Indis. Sesuai dengan awal mula kemunculannya sebagai penguat identitas sosial seseorang, saat inipun budaya Indis menjadi alat untuk menunjukkan status sosial seseorang atau kelompok yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya. Jadi, dari gaya hidup dan aktivitas harianmu apakah kamu bagian dari budaya Indis?
[tab] [content title="Tentang Penulis"] Yandri Rama
Penulis adalah alumni program studi Sejarah Universitas Padjadjaran, pemerhati sejarah dan aktif dalam diskusi-diskusi sosial dan sejarah. [/content] [/tab]
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas