بسم الله الرØمن الرØيم
[tab]
[content title="Tentang Penulis"]
Nugroho Adinegoro
Penulis adalah Founder Strategic Leadership Forum (BSLF), Chief Operation Officer Semoga Bermanfaat.Pemerhati Sosial Dipatiukur Research Center Unpad (DIRECT). [/content] [/tab]
Jika ada sosok paling berani dan rela hadapi pembuangan dan keluar masuk penjara demi sebuah kehormatan anak bangsa maka kita belajar dari tiga serangkai Indische Partij. Jika negeri ini berhutang budi pada pendidikan yang namanya terabadikan membangun pendidikan awal negeri ini maka sosok itu kemudian tertuju pada sosok bernama Soewardi Soeryaningrat atau kita mengenalnya dengan nama Ki Hajar Dewantara. Terlahir sebagai anak dari Pangeran Keraton Pakualam Yogyakarta dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Soewardi sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Dokter Jawa atau School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia, namun tak sampai lulus karena sakit. Dia memilih menjadi wartawan di beberapa suratkabar seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Dia pernah aktif di Boedi Oetomo sejak awal berdirinya organisasi itu. Dia menjadi penggerak Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta. Keaktifannya di Budi Oetama pada 1908 dan mendapat tugas yang cukup menantang di biro propaganda. Di situlah ia mencoba untuk mengobarkan semangat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesatuan dan persatuan Indonesia. Pada 25 Desember 1912 ia mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama beraliran nasionalis di Indonesia bersama dr. Douwes Dekker (Danudirja Setyabudhi) dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Indische Partij menjadi partai politik pertama berideologi nasionalis dengan tujuan tegas, yakni Indonesia merdeka. Oleh karena itu pula, Indische Partij kemudian ditolak menjadi badan hukum oleh pemerintah Belanda pada 11 Maret 1913 dengan alasan organisasi ini dapat membangkitkan nasionalisme rakyat untuk menentang Belanda.
Pada tahun itu juga Soewardi mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis pada November 1913. Ia mendirikan Komite Bumiputera yang merupakan komite tandingan dari komite perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa Belanda dari Perancis. Komite Bumiputera mengkritik perayaan tersebut yang akan dirayakan secara besar-besaran dengan menarik uang dari rakyat jajahannya. Kritikan Ki Hadjar tersebut dimuat di surat kabar milik Douwes Dekker berjudul “Seandainya Saya Seorang Belanda” (Als ik Eens Nederlander Was). Kontan saja hal itu membuat pemerintah Belanda berang pada Soewardi. Pemerintah kolonial meminta bantuan Sri Paku Alam II dan K.P.H. Suryaningrat agar mereka mendatangi Soewardi di Bandung untuk membujuknya agar tidak radikal. Namun mereka berdua justru berpesan, “Ingatlah, seorang bangsawan tidak akan menelan ludahnya sendiri.”
Surat kabar De Expres milik Indische Partij (IP) itu memuat catatan panjang yang isinya membuat pemerintah kolonial naik darah. "Als ik een Nederlander was" atau “Seandainya Saya Seorang Belanda,” begitu judul tulisan atas nama Soewardi Soerjaningrat yang terpampang pada edisi 13 Juli 1913. Dalam rangkaian kalimat dengan selipan bergaya satire tersebut, Soewardi dengan tajam menyindir kehendak pemerintah kolonial yang ingin merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis secara besar-besaran di Hindia alias Indonesia. Hal yang menjadi persoalan, untuk membiayai gegap-gempitanya perayaan itu, aparat kolonial berniat menarik uang “sumbangan” kepada seluruh warga Hindia Belanda, termasuk orang-orang yang saat itu berstatus sebagai “bangsa yang terprentah”.
Andai Saya Seorang Belanda
Nukilan dari tulisan "Als ik een Nederlander was" karya Soewardi Soerjaningrat yang sebenarnya sangat panjang (Pitut Soeharto & Zainoel Ihsan, eds., Belenggu Ganas, 1982:18). Membuka dengan gaya sindiran di permulaan, berlanjut dengan kata-kata yang lebih menikam, lalu ditusuk dengan kecaman tajam “Betapa menyenangkan, betapa nikmatnya bila dapat memperingati suatu peristiwa nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin sekali menjadi orang Belanda, walaupun hanya untuk sementara saja. Kita sekarang bersuka-cita oleh karena 100 tahun yang lalu kami terlepas dari jajahan kekuasaan asing, dan kesemuanya itu akan dilakukan di hadapan mata mereka yang hingga sekarang masih tetap dijajah oleh kami.”
“Sungguh, seandainya saya ini orang Belanda, maka saya tak akan pernah mau merayakan pesta peringatan seperti itu di sini, di suatu negeri yang kita jajah. Berikan dahulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan, baru sesudah itu kita memperingati kemerdekaan kita sendiri!” Pasca tulisan “Als ik een Nederlander was" yang menggoncang Hindia Belanda kala itu, pro dan kontra terjadi setelah De Expres memuat tulisan Soewardi itu. Orang-orang pemerintahan kolonial dan pendukungnya tentu saja meradang. Tapi tidak bagi mereka yang menyimpan kegeraman yang sama seperti yang dirasakan oleh Soewardi. Meskipun lugas dan tegas, Soewardi tidak membabi-buta dalam melakukan serangan. "Als ik een Nederlander was" membuktikan bahwa ia adalah seorang pemberani yang tangkas dalam menulis. Boleh jadi ia radikal dalam mengungkapkan pendapatnya kendati tidak melulu harus brutal. Lewat tulisan, Soewardi menampar, tapi bukan dengan sikap kasar. Ia tidak memaki, melainkan memberi kata-kata yang tepat, jitu, serta indah susunannya. Ada humor, ada sinis, ada ironi bercampur ejekan pedas yang jelas ditujukan kepada bangsa penjajah khas prosa intelektual. Tulisan Soewardi tidak hanya sekadar nyinyir atau berisi kecaman belaka tanpa solusi. Lewat tulisannya terkandung pandangan dan upaya penyadaran yang bisa direnungkan, baik oleh pihak kolonial beserta kaum pendukungnya, juga oleh masyarakat Hindia yang masih terjajah. Di tahun 1913 itu, Soewardi sudah membuka kesadaran tentang cita-cita kemerdekaan, sesuatu yang baru akan terwujud lebih dari tiga dekade kemudian.
Tak banyak inlander alias “pribumi” yang seberani Soewardi pada masa-masa itu. Apalagi mereka yang berasal dari habitat yang sama dengannya, ningrat Jawa, orang-orang Boedi Oetomo misalnya. Pilihan judul yang dipakai yakni "Als ik een Nederlander was" atau “Seandainya Saya Seorang Belanda” sendiri sudah menunjukkan radikalisme Soewardi. Hal seperti itu mustahil diungkapkan terang-terangan. Soewardi dengan sadar telah menempatkan tata kolonial dalam upaya progresif dan revolusioner demi terjadinya perubahan yang radikal dan cepat. Bagi pemerintah kolonial, pemikiran seperti itu jelas sangat laten dan berbahaya jika dibiarkan (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, 1997:86).
Tanggal 18 Agustus 1913 keluarlah SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk Tiga Serangkai Indische Partij. Mereka akan dihukum buang (Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 2003:280). Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan pada Soewardi, Tjipto, dan Douwes Dekker. Hukuman. Namun tiga serangkai lebih menginginkan untuk dibuang ke negeri Belanda saja karena dianggap akan lebih bermanfaat dengan mempelajari banyak hal ketimbang dibuang ke daerah terpencil sebelumnya. Permintaan tersebut dikabulkan, dan mulai Agustus 1913 mereka berada di Belanda sebagai pelaksanaan hukuman. Hal itu tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka, terutama Ki Hadjar dengan memperdalam tentang pendidikan dan pengajaran, hingga berhasil mendapatkan Europeesche Akte. Di negeri Belanda, Soewardi juga bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk pulang ke Indonesia. Selama di Belanda jiwa intelektualitas dan aktivis pergerakannya tak hilang karena pengasingan adalah oase untuk istirahat sejenak kemudian bergerak menantang medan yang lebih berat demi kemerdekaan.
Soewardi Soerjaningrat akhirnya kembali ke Indonesia pada 6 September 1919 setelah menjalani masa pembuangan selama enam tahun. Ketika tiba di tanah air dan langsung bergabung dengan Nationaal Indische Partij (NIP)—organisasi pengganti IP yang telah dibubarkan paksa. Nyali Soewardi dalam memperjuangkan kemerdekaannya bukannya menciut, tapi justru makin terlecut. Jiwa persnya lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menikam, membuat Soewardi sering berurusan dengan aparat. Tuduhan penghinaan terhadap Ratu Belanda, melecehkan lembaga pengadilan, pegawai pemerintahan, dan menghasut orang agar membenci penguasa pernah diamanatkan kepadanya. Pembuangan menjadi akrab baginya, Soewardi akrab dengan heningnya ruangan penjara. Medio 1920, ia meringkuk di dalam tahanan menunggu perkaranya disidangkan, sebelum akhirnya dibui di Pekalongan. Belum juga bebas, Soewardi dapat tuduhan tambahan. Kali ini orasinya yang dituding menghina pemerintah. Awalnya ia dikurung di penjara Mlaten di Semarang, kemudian dipindahkan ke Pekalongan. Soewardi juga harus menjalani kerja paksa selama masa hukumannya.
Titik Penting Kehidupan
Konsistensi radikal Soewardi dalam melawan pemerintahan kolonial boleh jadi akan terus berlangsung seandainya istri tercintanya, Soetartinah tak sakit. Sang istri jatuh sakit. Salah satu penyebabnya dikarenakan selalu memikirkan keselamatan suaminya yang kerap dikejar-kejar aparat kolonial, bahkan keluarmasuk penjara. Di balik tokoh besar memang selalu ada wanita yang sabar dan tegar menemani perjuangan suaminya. Soetartinah salah satunya. Dari sinilah terjadi titik penting dalam kehidupan Soewardi. Ia mengurangi bahkan menghentikan aktivitas yang berpotensi mengancam keselamatannya dan fokus mendampingi sang istri sampai sembuh.
Setelah Soetartinah sehat, jalan perjuangan Soewardi benar berubah. Di Yogyakarta, tempat di mana ia dilahirkan pada 2 Mei 1889 di lingkungan ningrat Pakualaman, ia menyusun cara perlawanan baru, yaitu lewat pendidikan.Tepat tanggal 3 Juli 1922, berdirilah Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa, dan sejak saat itu, Soewardi Soerjaningrat memakai nama baru: Ki Hadjar Dewantara. Penggantian nama tersebut pun pada hakikatnya merupakan simbol filosofi dan perjuangannya. Dari nama kecil sebagai bangsawan bergelar Raden, kemudian ia memilih bergelar Ki yang merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari orang kebanyakan. Ki Hadjar adalah jenis bangsawan yang sadar dan rela untuk menjadi sama dengan manusia lainnya. Dengan begitu, sejatinya dalam sejarah pergantian namanya dari Raden menjadi Ki saja, sudah tersirat filosofi anti-feodal dan anti-penjajahannya
Kendati tidak lagi menyerang secara frontal, Soewardi alias Ki Hadjar tetap melalukan perlawanan. Taman Siswa murni independen, Ki Hadjar menolak mentah-mentah subsidi dari pemerintah kolonial. Ia juga kerap melawan kebijakan pendidikan kolonial yang dianggapnya merugikan rakyat Indonesia.
Corak pendidikannya dapat dikatakan sebagai paduan pendidikan gaya Eropa yang telah ia pelajari selama di Belanda dan seni-budaya Jawa tradisional yang merupakan latar sosialnya sejak mula. Setelah Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, Ki Hadjar kemudian mewakafkan seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa pada 7 Agustus 1930. Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan mendapat apresiasi dari rakyat banyak tentu membuat gelisah pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Kemudian diterbitkanlah ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie) yang melarang sekolah swasta (partikelir) beroperasi tanpa izin dari pemerintah berkuasa. Ditentukan bahwa sekolah-sekolah swasta harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Kalau Taman Siswa mentaati ordonansi tersebut, maka Taman Siswa akan tutup karena Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong (guru) dari sekolah guru Taman Siswa sendiri (Rahardjo, 2009: 57).
Ki Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam, perlawanan dilakukan dengan menjalankan Taman Siswa seperti biasa, tidak terpengaruh oleh ordonansi tersebut. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh pamong lain. Semboyan “ditangkap satu tumbuh seribu” muncul. Selain itu Ki Hadjar juga mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di Buitenzorg (Bogor) yang isinya ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara diam (Lijdelik Verset, bandingkan dengan gerakan Ahimsa dari Mahatma Gandhi di India). Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut karena Taman Siswa mendapat dukungan dari gerakan politik nasional, termasuk Boedi Oetomo untuk terus melawan ordonansi yang merugikan pendidikan pro-rakyat tersebut.
Di bawah pendudukan Jepang, pada 1943 ketika Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pemimpin di situ bersama Soekarno, Hatta, serta K.H Mas Mansyur. Setelah proklamasi kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Keboedajaan (PP dan K) Indonesia yang pertama oleh Bung Karno. Secara resmi dunia akademik pun memberikan penghormatan kepada Ki Hadjar dengan memberikan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1957. Dua tahun setelah itu, tepatnya pada 26 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia. Sebelum wafat ia pernah berkata pada anaknya, Bambang Sukowati (dalam Rahardjo, 2009: 21):
“Apapun yang dikatakan orang tentang diriku (kau) wajib menerimanya. Namun, kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar seorang nasionalis, radikalis, sosialis, humanis, tradisionalis ataupun demokrat? Maka katakanlah, aku hanya orang Indonesia biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia.”
Selamat Hari Pendidikan. Abadi Terus namamu Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara kami.
Semoga Bermanfaat
Penulis adalah Founder Strategic Leadership Forum (BSLF), Chief Operation Officer Semoga Bermanfaat.Pemerhati Sosial Dipatiukur Research Center Unpad (DIRECT). [/content] [/tab]
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas